Pemberlakuan UU
Otonomi Daerah yang dimulai dengan ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan
kemudian disempurnakan dengan UU nomor 32 Tahhun 2004 tentang pemerintahan Daerah,
dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, mengakibatkan teradinya perubahan dalam
berbagai aspek pembangunan di Indonesia termasuk juga dalam aspek pendidikan.
Sejalan dengan arah
kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, pemerintah
daerah diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuan nya dalam berbagai
tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan kebijakan daerah,
perencanaan, pelaksanaan sampai pemantauan atau monitoring di daerah
masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang telah digariskan.[1]
Kendatipun
sentalisasi pendidikan di satu sisi mempunyai nilai positif, paling tidak dalam
hal ini tercapainya standar mutu secara nasional, namun disisi lain mempunyai
dampak yang tidak sedikit. Akibat sentralisasi, sekolah tidak memiliki
kebebaasn mengembangkan diri, sekolah yang baik akan terhambat karena dipaksa
mengikuti aturan-aturan pemerintah pusat, para guru hanya sekedar menjadi
pelaksana petunjuk, sehingga tidak kreatif mendampingi peserta didik.
Untuk melaksanakan
desentralisasi pendidikan secara nasional diseluruh wilayah Indonesia mengalami sejumlah masalah dan kendala yang
perlu diatasi.masalah-masalah yang berkaitan dengan substansi manajemen
pendidikan dan perundang-undangan adalah sebagai berikut.
A.
Masalah Kurikulum
Kondisi masyarakat Indonesia yang beragam seperti budaya, adat, suku, sumberdaya alam dan bahkan sumberdaya manusianya. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objekif di daerahnya. Situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekedar mencakup meteri pelajaran yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertian yang luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, juga berkenaan dengan proses belajar yang terjadidi dalam lembaga, fasilitas yang menunjang terjadinya proses, dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut.
Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat . dalam kaitannya dengan manaemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain perlu diadakan manajemen kurikulum yang berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat beberapa tahun mendatang. Oleh karena itu, kurikilum pendidikan harus tetap dijaga agar selalu responsif dalam mengikuti perkembangan teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas lulusan lapangan.[2]
Kondisi masyarakat Indonesia yang beragam seperti budaya, adat, suku, sumberdaya alam dan bahkan sumberdaya manusianya. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objekif di daerahnya. Situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekedar mencakup meteri pelajaran yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertian yang luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, juga berkenaan dengan proses belajar yang terjadidi dalam lembaga, fasilitas yang menunjang terjadinya proses, dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut.
Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat . dalam kaitannya dengan manaemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain perlu diadakan manajemen kurikulum yang berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat beberapa tahun mendatang. Oleh karena itu, kurikilum pendidikan harus tetap dijaga agar selalu responsif dalam mengikuti perkembangan teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas lulusan lapangan.[2]
B.
Masalah Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia
adalah yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi
pendidikan. Implementasi desentralisasi pendidikan masih menyimpan beberapa
kendala seperti dalam pengangkatan pengelolaan pendidikan yang tidak
memperhatikan latar belakang dan profesionalisme.
Bagaimanapun sumber
daya manusia yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan sistem
pendidikan . penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan
dan keahliannya yang menyebabkan pelaksanaan pendidikan yang tidak profesional.
Banyak tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan
ditempatkan di dunia kerja yang ditekuninya.
Pengelolaan dan
pembinaan pegawai di kabupaten/kota satu dengan lainnya tidak sama, sehingga
sering menimbulkan kecemburuan antar pegawai. Kekurangan tenaga guru sulit
diatasi karena mutasi PNS/guru kabupaten/kota maupun provinsitidak dapat
dilakukan. Dalam kondisi ini akibatnya sangat merugikan bagi daerah untuk dapat
maju dan berkembang sesuai dengan potensi sumber daya manusia yang dimilikinya.
C.
Masalah
Dana, Sarana, dan Prasarana
Persoalan dana
merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan pembangunan sistem
pendidikan di Indonesia karena dana adalah salah satu syarat atau unsur yang
sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Pada saat
sentralisasi, dana masyarakat yang selama ini digunakan untuk membiayai
pendidikan belum optimal teralokasikan secara proporsional sesuai dengan
kemampuandaerah. Sarana dan prasarana pendidikan sangat tergantung pengadaannya
dari pemerintah pusat.
Sementara itu,
dalam konteks pembiayaan, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka anggaran
pendidikan di alokasikan pada APBD. Terlihat
jelas penurunan biaya penyelenggaraan pendidikan. Di samping pemahaman pimpinan
daerah terhadap pendidikan, banyak yang sangat terbatas, tidak jarang
pemerintah daerah juga menempatkan pembangunan pendidikan bukan berada pada
skala prioritas. Pada umumnya di pemerintah daerah pada saat pengambilan
kebijakan yang lain, jika berbicara masalah pendidikan semua sepakat pendidikan
merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus menjadi prioritas pembangunan.
Namun, ketika sampai pada tahap implementasi dan pengambilan kebijakan,
terutama menyangkut anggaran pendidikan di APBD, semuanya tidak ada lagi yang
mampu berbuat banyak.
Sementara itu,
dalam bidang perlengkapan, seringkali terjadi perebutan aset, dan umumnya aset
departemen beralih menjadi aset provinsi. Pengaturan penggunaan aset belum
tentu sesuai dengan beban tugas masing-masing instansi dinas. Sementara proses
penghapusan barang melalui waktu yang lama dan birokrasi yang sangat panjang.
Daftar pustaka
1.
Hasbullah.
Otonomi Pendidikan( kebijakan Otonomi
Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
2.
Bahtiar,
Yoyon. I. Kebijakan Pembaruan Pendidikan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2011.
0 komentar:
Posting Komentar